Jumat, 07 November 2008

ngupas mangga

Tadi malam ila tertarik utk belajar ngupas mangga. Lucu. walaupun licin, dia berhasil juga ngupas. Hampir tuntas karena masih ada sedikit kulit yang tersisa. Dan kulitnya juga bisa dibikin "sawah" karena tebelnya dia ngupas, bentuknya juga jadi bengkong-bengkong. Kakaknya jadi termotivasi utk belajar juga ngliat adiknya. Yang sulit bagi kakaknya adalah bagian ngiris karena ketemu pelok melulu....

Subhanallah. Detil momen yang seperti ini kadang lupa disyukuri,..

Ditulis 5 Desember 2007, dicopy dari sent item outlook,..

Sudut pandang ?

Dalam penilaian pendatang, secara umum sepertinya sepakat bahwa banjarmasin selain kumuh juga ngawur lalu lintasnya.
Orang jarang ngalah. Bahkan dibanding surabaya yang katanya kasar, perkara ngalah ini sulit ditemui disini. Kalau ada macet yang perlu solusi, biasanya makin jadi bottle neck karena sepeda motor makin merangsek maju, makin mbundel. Contoh sederhana ruwetnya lalu lintas adalah u-turn sepanjang ahmad yani. Tipikal sini adalah mencari jalan terdekat, kalau perlu melawan arah "sedikit" untuk cari belokan. Sepeda motor sih sudah biasa, kadang mobil juga ada yang nekat seperti itu,..mungkin dengan pertimbangan "sedikit" atau "toh dekat"
Di banjar banyak sekali warung makan, karena memang ada kebiasaan sarapan di warung, bukan di rumah. Di jalan menuju sekolah aya & ila, kebetulan jalan tidak terlalu lebar, dengan banyaknya pengantar, tentu saja parkiran sepeda motor di depan warung atau rumah menjadi salah satu sumber macet. Uniknya, dari sekian peristiwa macet, hanya sedikit penduduk/ pemilik sepeda motor yang "merasa", atau bertindak dengan membetulkan letak parkirnya supaya jalan lebih leluasa. Jadinya sudah hampir pada kesimpulan bahwa orang sini "cuek".
Letak sekolah aya-ila yang berada didalam komplek memang beresiko macet karena jalannya ngepas dilalui dua mobil papasan. Itupun di beberapa titik mesti saling tunggu karena ada tiang telpon atau tiang listrik. Beberapa hari ini, ada bak sampah dipasang di depan pagar sebuah rumah, diseberangnya ada panjatan dari kayu dan drum minyak sehingga dua mobil papasan tidak memungkinkan alias harus gantian. Tadi pagi, aku yang nyetir karena my suami dinas diluar kota. Disitu aku papasan dengan daihatsu terios yang dikemudikan ibu-ibu juga. Stuck karena memang terios ketemu bak sampah, aku mepet kayu dan nantinya drum. Untung ada bapaks yang berinisiatif kasih aba-aba ke aku sekaligus meminggirkan drum yang ternyata kosong. Eh, tiba-tiba ibu dari rumah yang berbak-sampah baru itu keluar "jangan dipindah. Biar saja belajar gimana mesti jalan satu-satu. Jalan tiap pagi hibak kaya gini,..(hibak=penuh)" dst,...bernada emosi. Aku cuma senyum ke ibu terios dan alhamdulillah berlalu dengan selamat dengan bantuan bapak yang kasih aba-aba.
Cuman dijalan aku jadi mikir. Selama ini sebagai pengguna jalan, aku tidak bisa mengerti kenapa warga disitu parkir motor, atau menaruh sesuatu tanpa peduli kelancaran lalu lintas. Tapi dengan omelan tadi aku jadi mikir,..ternyata kami berpikir dalam sudut pandang yang berbeda. Warga tadi merasa tidak nyaman dengan kendaraan-kendaraan yang kami pakai dan setiap hari lewat. Kami yang terganggu atau mengganggu ?
Hikmah hari ini, cobalah berpikir dengan kerangka lain, atau berpikir dari sudut pandang yang berbeda untuk mendapatkan gambaran yang lain. Benar atau pun tidak pendapat tersebut. mungkin,...

ditulis di Banjarmasin, 10 desember 2007

yang baru kukirim untuk seorang ibu baru

Hihi,..kalau soal perasaan bersalah luar biasa itu sih aku ngalamin terus dik,..bayangin,..3X !
Kalau dibanding dg dik savitri, aku jelas lebih parah "ketegaannya",..
Jangankan hrs merelakan diasuh smtr dg org lain Aku juga ninggal mereka lebih lama. Dari jam 8 pagi (kenyataannya jam 7.30 an dah berangkat krn ngantar kakak2nya) sampai jam 17.30 wita, kenyataannya sering sampe maghrib (disini jam 6-an),sabtu yang resmi libur, kadang nengok kantor atau mesti 'jualan'...

"tersiksa" dengan rasa bersalah itu tidak hanya saat meninggalkan mereka, tapi juga saat di kantor, saat di rumah ketemu mereka,..wah, pokok-e jan tenan rasane. Belum lagi kalau saat mudik, di yogya ngumpulnya dengan bukan ibu bekerja, atau di sekolah ketemu ibu yang nggak kerja. Cerita ttg kesembronoan pembantu tetangga, bagaimana mungkin sebuah kesempatan emas pertumbuhan dipercayakan pada orang lain yang ilmu-nya mbuh, tingkat rasa sayang ke anak mbuh,rasane bukan hanya kepala yang cenut-cenut tapi ati juga teriris-iris,...
Memang paling parah saat anaks bayi,..tapi bukannya terus ilang, perasaan itu terus-terusan ada. Kebutuhan anak untuk dekat ibunya kan tidak luntur, cuman bentuknya yang beda.( Sampai sekarang ila masih pengen dekat ibu kalau makan, dipegang tangannya kalau tidur, dll,...)

That's why dik,..
Aku mempertanyakan waktu tahun lalu dikau mau mutusin kerja lagi. Apa bener ? Jangan sampai perasaan yang sama -yang perih kurasakan- terjadi padamu,...

Dalam kurun waktu itu aku selalu berpikir untuk keluar dari pekerjaan. Apalagi waktu itu di unitku ada bapaks berjenggot yang dengan tegas mengatakan mudharat wanita bekerja. Lengkaplah sudah.
Aku pernah konsultasi dg ibu ,reaksi beliau malah kaget. Tahu kalau alasannya anak-anak, ibu bilang "ya nggak mungkin lah kalau mbak seperti itu" dan intinya,..jangan keluar dari pekerjaan.

Kepercayaan ibu mertua, kepercayaan suami, bahwa i can handle those responsibilities akhirnya mengantar ke keputusan yang tentu saja melalui proses panjang. Aku jalani saja seluruhnya dengan mohon pertolonganNYA. Dan juga berpikir,..Belum tentu aku lebih baik menghadapi anaks kalau aku di rumah,...